Akselerasi Penghematan Energi melalui Penerapan SKEM dan Label Hemat Energi
16 April 2021 - 10:53 | Humas EBTKE
Penulis: Anggraeni Ratri Nurwini
Intensitas energi per rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertumbuhan ekonomi. Efisiensi teknologi, dan gaya hidup. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menyebabkan pendapatan perkapita meningkat, pada gilirannya hal ini akan menyebabkan meningkatnya standar hidup dan konsumsi energi di rumah tangga. Walaupun jumlah peralatan dalam rumah tangga meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup, tetapi konsumsi energi per peralatan di perkirakan akan turun akibat peningkatan efisiensi. Kesadaran akan pentingnya penghematan energi juga akan berkontribusi terhadap pengurangan konsumsi energi di sektor rumah tangga.
Survei yang telah dilakukan oleh The Collaborative Labelling and Appliance Standard Programme (CLASP) bekerjasama dengan Direktorat Konservasi Energi mengenai survei penggunaan listrik pengguna akhir peralatan rumah tangga tahun 2019 terhadap 5.443 populasi rumah tangga yang memiliki akses listrik di 34 provinsi di Indonesia ditemukan bahwa semua rumah tangga memiliki penerangan, dengan jumlah rata-rata 5,4 titik per rumah (lampu bohlam dan tabung). Berdasarkan tingkat penetrasi, kepemilikan, penggunaan, dan asumsi operasi beban penuh, telah teridentifikasi 10 peralatan Rumah Tangga dengan konsumsi energi tinggi yang bertanggungjawab atas 98 persen dari konsumsi energi sektor rumah tangga di Indonesia seperti terlihat pada tabel 1 berikut.
Penetrasi teknologi melalui penerapan kebijakan merupakan salah satu policy intervention dalam pemodelan, terlihat pada Gambar 2 dimana didapat proyeksi penghematan energi sebesar 18,66 persen atau setara 990,26 juta SBM hingga tahun 2025, jika dilakukan salah satunya dengan penerapan Standar Kinerja Energi Minimum untuk sektor rumah tangga.
Standar Kinerja Energi Minimum yang selanjutnya disingkat SKEM adalah spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum pada kondisi tertentu yang secara efektif dimaksudkan untuk membatasi jumlah konsumsi energi maksimum dari produk pemanfaat energy yang diizinkan. Standard yang dimaksud disini adalah standard performansi efisiensi energi minimal yang diijinkan bagi produk pemanfaat energi yang boleh beredar di pasar suatu negara. Dengan kebijakan standard minimal ini, maka produk-produk yang boros energi dapat dihilangkan dari pasar secara cepat (biasanya dalam waktu 1 – 2 tahun). Standard ini dikenal juga sebagai MEPS (Minimum Energy Performance Standard).
Keuntungan dari penerapan SKEM adalah melindungi negara dari peredaran produk yang tidak memenuhi standar, pemerintah dapat mengawasi produk yang beredar, serta memberikan jaminan produk yang baik dan hemat energi bagi masyarakat. Namun, kebijakan ini juga mempunyai titik kritis yang perlu diperhatikan. Sifatnya yang mandatory, memerlukan pendekatan yang baik kepada stakeholder sehingga dapat disepakati batasan SKEM yang dapat diberlakukan. Kebijakan ini juga memerlukan enforcement yang tegas sehingga dapat efektif mentransformasi pasar. Selain itu, karena memaksa pasar berubah dalam waktu cepat (dengan menghilangkan produk yang tidak hemat dari pasaran yang biasanya berharga murah), maka kebijakan ini menimbulkan biaya di awal bagi konsumen yang sebenarnya akan dapat diimbangi dengan penghematan energi yang diperoleh kemudian.
Label Hemat Energi adalah label yang menyatakan produk tersebut telah memenuhi syarat hemat energi tertentu. Label ditempatkan di kemasan atau produk berupa informasi mengenai performansi produk tersebut terkait efisiensi/penggunaan energinya. Terdapat dua jenis label yang biasa digunakan yaitu comparative label dan endorsement label.
Comparative label adalah label yang menginformasikan posisi tingkat efisiensi energi suatu produk terhadap suatu ukuran tertentu sehingga posisi relativenya dapat dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis dalam satu kelas. Penerapan comparative label bisanya dilakukan dengan suatu regulasi wajib bagi produsen dan importir yang menjual produknya di pasar suatu negara. Labelisasi jenis ini bisa dikombinasikan dengan SKEM untuk meningkatkan efektifitasnya. Keuntungan dari penerapan comparative label antara lain memberikan dorongan yang cukup kuat bagi pasar untuk berubah menjadi lebih efisien energi, biaya transaksi per unit rendah dan walaupun demikian, konsumen akan mendapatkan keuntungan dari penghematan atas produk yang dipilihnya sesuai tingkat hemat energinya. Namun demikian, comparative label juga memiliki beberapa kekurangan. Sifatnya yang komparatif menyebabkan tidak mudahnya dicapai kesepakatan batasan level hemat energi yang akan diterapkan. Semua produk menginginkan produknya berada pada level tertinggi dan tidak ada yang mau produknya mendapat label dengan tingkat efisiensi rendah. Dalam kasus Indonesia, kita mengenal empat level bintang. Semakin banyak bintang suatu produk, maka semakin hemat energi. Penerapannya juga harus dilakukan dengan mandatory dan memerlukan enforcement yang tegas.
Label jenis berikutnya adalah bersifat endorsement atau pengakuan atas performansi suatu produk yang diedarkan di pasar suatu negara telah mencapai suatu batasan tertentu yang dianggap hemat energi. Label jenis ini dapat dikatakan sebagai ijin dari Pemerintah kepada produsen/importir suatu produk untuk mengklaim bahwa produknya hemat atau telah mencapai batasan performansi efisiensi energi tertentu dan pemberlakuannya bersifat voluntary/sukarela.
Implementasi SKEM dan label tanda hemat energi berpengaruh pada peralatan yang dijual di pasar. Dengan adanya SKEM di tahun tertentu, peralatan yang dijual di pasar harus memenuhi standar minimum tersebut sehingga peralatan yang di bawah standar akan ditarik dari pasar. Hal ini mengakibatkan naiknya porsi peralatan yang efisien terhadap stok total. Lebih jauh, peralatan yang dijual akan diberikan label yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli peralatan yang lebih efisien. Saat ini comparative label yang diterapkan Indonesia adalah empat tingkat pelabelan dan akan direvisi mengikuti negara – negara ASEAN lainnya menjadi lima tingkat. Hasil studi yang dilakukan oleh Indonesian Institute for Energy Economic, 2017 merekomendasikan bahwa pada penerapan SKEM haruslah lebih ketat, misal ketika pada tahun pertama, batas bawah adalah bintang 1, maka pada penerapan SKEM berikutnya, batas bawah menjadi bintang 2 dan seterusnya. Dengan begitu komposisi peralatan tersebut berdasarkan tingkat efisiensinya akan berubah dan intensitas energi rata-rata akan menurun.
Dampak penghematan energi dari penerapan SKEM dan Label dengan menggunakan data yang telah didapat melalui penerapan 2 (dua) kebijakan Peraturan Menteri ESDM tentang SKEM dan Label untuk Pengondisi Udara (AC) dan Lampu Swaballast sejak tahun 2015-2020 adalah sebesar 15.258 GWh atau setara dengan penghematan Rp. 22,4 Trilyun. Penghematan ini setara dengan kontribusi penurunan emisi GRK sebesar 12.969 juta Ton CO2e. (Faktor Emisi tahun 2017 = 0,85 kg CO2/kwh).
Sedangkan estimasi potensi penghematan energi dengan penambahan sepuluh (10) peralatan lain (Kulkas, TV, Kipas Angin, Mesin Cuci, Penanak Nasi, Pompa Air, Blender, Dispenser, Setrika dan peralatan lainnya) berdasarkan jumlah populasi dan konsumsi energinya dari hasil survei oleh market studi yang dilakukan oleh CLASP dan LBNL diproyeksikan pada tahun 2021 - 2025 didapat penghematan energi mencapai 23.3 TWh atau setara dengan Rp. 34,2 Trilyun dengan asumsi tarif listrik Rp. 1.467,28/Kwh.
Referensi
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2018, Proyeksi data penduduk pada tahun 2019 mencapai 266,91 juta jiwa berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas 2015).
Data Handbook of energy and economic statistics of Indonesia konsumsi energi nasional mencapai 868,5 juta barrels oil equivalent (BOE) pada tahun 2018. Dari jumlah tersebut 14,76 persen dari sektor rumah tangga. Dari sisi penggunaan listrik di Indonesia, menurut data Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 – 2027 PT PLN (Persero) menyebutkan sektor rumah tangga merupakan pengguna utama listrik nasional, dan diproyeksikan menjadi dua kali lipat selama satu dekade ke depan. Seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proyeksi Penggunaan Listrik Indonesia
Banyak faktor yang menentukan konsumsi energi di sektor rumah tangga. Faktor – faktor tersebut termasuk dalam kategori yaitu: demografi, ekonomi, teknologi dan gaya hidup. Meningkatnya populasi akan meningkatkan jumlah rumah tangga yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi energi rumah tangga. Konsumsi energi rumah tangga juga ditentukan oleh pendapatan rumah tangga, dimana keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi pada umumnya mengkonsumsi lebih banyak energi dibandingkan keluarga dengan pendapatan yang lebih rendah. Konsumsi energi rumah tangga dihitung dengan menggunakan model end-use. Pendekatan ini digunakan dengan tujuan untuk mengakomodasi penurunan intensitas energi di masa mendatang yang disebabkan oleh perubahan teknologi. Dengan menggunakan pendekatan ini, konsumsi energi merupakan perkalian dari tingkat aktivitas dan intensitas energi.
Konsumsi energi = Tingkat aktivitas x Intensitas Energi
Intensitas energi per rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertumbuhan ekonomi. Efisiensi teknologi, dan gaya hidup. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menyebabkan pendapatan perkapita meningkat, pada gilirannya hal ini akan menyebabkan meningkatnya standar hidup dan konsumsi energi di rumah tangga. Walaupun jumlah peralatan dalam rumah tangga meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup, tetapi konsumsi energi per peralatan di perkirakan akan turun akibat peningkatan efisiensi. Kesadaran akan pentingnya penghematan energi juga akan berkontribusi terhadap pengurangan konsumsi energi di sektor rumah tangga.
Survei yang telah dilakukan oleh The Collaborative Labelling and Appliance Standard Programme (CLASP) bekerjasama dengan Direktorat Konservasi Energi mengenai survei penggunaan listrik pengguna akhir peralatan rumah tangga tahun 2019 terhadap 5.443 populasi rumah tangga yang memiliki akses listrik di 34 provinsi di Indonesia ditemukan bahwa semua rumah tangga memiliki penerangan, dengan jumlah rata-rata 5,4 titik per rumah (lampu bohlam dan tabung). Berdasarkan tingkat penetrasi, kepemilikan, penggunaan, dan asumsi operasi beban penuh, telah teridentifikasi 10 peralatan Rumah Tangga dengan konsumsi energi tinggi yang bertanggungjawab atas 98 persen dari konsumsi energi sektor rumah tangga di Indonesia seperti terlihat pada tabel 1 berikut.
Peralatan Rumah Tangga | Tingkat Penetrasi (%) |
Penggunaan Energi Tahunan (GWh/tahun) |
Penanak Nasi | 69 | 15.057 |
Kulkas | 69 | 14.354 |
Penerangan | 100 | 13.112 |
TV | 93 | 6.378 |
Kipas Angin | 64 | 5.153 |
Pendingin Udara (AC) | 5 | 5.057 |
Dispenser Air | 20 | 2.420 |
Mesin Cuci | 29 | 1.066 |
Setrika | 70 | 1.063 |
Pompa Air | 35 | 961 |
Penetrasi teknologi melalui penerapan kebijakan merupakan salah satu policy intervention dalam pemodelan, terlihat pada Gambar 2 dimana didapat proyeksi penghematan energi sebesar 18,66 persen atau setara 990,26 juta SBM hingga tahun 2025, jika dilakukan salah satunya dengan penerapan Standar Kinerja Energi Minimum untuk sektor rumah tangga.
Gambar 2. Perhematan Energi per Sektor
Standar Kinerja Energi Minimum yang selanjutnya disingkat SKEM adalah spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum pada kondisi tertentu yang secara efektif dimaksudkan untuk membatasi jumlah konsumsi energi maksimum dari produk pemanfaat energy yang diizinkan. Standard yang dimaksud disini adalah standard performansi efisiensi energi minimal yang diijinkan bagi produk pemanfaat energi yang boleh beredar di pasar suatu negara. Dengan kebijakan standard minimal ini, maka produk-produk yang boros energi dapat dihilangkan dari pasar secara cepat (biasanya dalam waktu 1 – 2 tahun). Standard ini dikenal juga sebagai MEPS (Minimum Energy Performance Standard).
Keuntungan dari penerapan SKEM adalah melindungi negara dari peredaran produk yang tidak memenuhi standar, pemerintah dapat mengawasi produk yang beredar, serta memberikan jaminan produk yang baik dan hemat energi bagi masyarakat. Namun, kebijakan ini juga mempunyai titik kritis yang perlu diperhatikan. Sifatnya yang mandatory, memerlukan pendekatan yang baik kepada stakeholder sehingga dapat disepakati batasan SKEM yang dapat diberlakukan. Kebijakan ini juga memerlukan enforcement yang tegas sehingga dapat efektif mentransformasi pasar. Selain itu, karena memaksa pasar berubah dalam waktu cepat (dengan menghilangkan produk yang tidak hemat dari pasaran yang biasanya berharga murah), maka kebijakan ini menimbulkan biaya di awal bagi konsumen yang sebenarnya akan dapat diimbangi dengan penghematan energi yang diperoleh kemudian.
Label Hemat Energi adalah label yang menyatakan produk tersebut telah memenuhi syarat hemat energi tertentu. Label ditempatkan di kemasan atau produk berupa informasi mengenai performansi produk tersebut terkait efisiensi/penggunaan energinya. Terdapat dua jenis label yang biasa digunakan yaitu comparative label dan endorsement label.
Comparative label adalah label yang menginformasikan posisi tingkat efisiensi energi suatu produk terhadap suatu ukuran tertentu sehingga posisi relativenya dapat dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis dalam satu kelas. Penerapan comparative label bisanya dilakukan dengan suatu regulasi wajib bagi produsen dan importir yang menjual produknya di pasar suatu negara. Labelisasi jenis ini bisa dikombinasikan dengan SKEM untuk meningkatkan efektifitasnya. Keuntungan dari penerapan comparative label antara lain memberikan dorongan yang cukup kuat bagi pasar untuk berubah menjadi lebih efisien energi, biaya transaksi per unit rendah dan walaupun demikian, konsumen akan mendapatkan keuntungan dari penghematan atas produk yang dipilihnya sesuai tingkat hemat energinya. Namun demikian, comparative label juga memiliki beberapa kekurangan. Sifatnya yang komparatif menyebabkan tidak mudahnya dicapai kesepakatan batasan level hemat energi yang akan diterapkan. Semua produk menginginkan produknya berada pada level tertinggi dan tidak ada yang mau produknya mendapat label dengan tingkat efisiensi rendah. Dalam kasus Indonesia, kita mengenal empat level bintang. Semakin banyak bintang suatu produk, maka semakin hemat energi. Penerapannya juga harus dilakukan dengan mandatory dan memerlukan enforcement yang tegas.
Label jenis berikutnya adalah bersifat endorsement atau pengakuan atas performansi suatu produk yang diedarkan di pasar suatu negara telah mencapai suatu batasan tertentu yang dianggap hemat energi. Label jenis ini dapat dikatakan sebagai ijin dari Pemerintah kepada produsen/importir suatu produk untuk mengklaim bahwa produknya hemat atau telah mencapai batasan performansi efisiensi energi tertentu dan pemberlakuannya bersifat voluntary/sukarela.
Implementasi SKEM dan label tanda hemat energi berpengaruh pada peralatan yang dijual di pasar. Dengan adanya SKEM di tahun tertentu, peralatan yang dijual di pasar harus memenuhi standar minimum tersebut sehingga peralatan yang di bawah standar akan ditarik dari pasar. Hal ini mengakibatkan naiknya porsi peralatan yang efisien terhadap stok total. Lebih jauh, peralatan yang dijual akan diberikan label yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli peralatan yang lebih efisien. Saat ini comparative label yang diterapkan Indonesia adalah empat tingkat pelabelan dan akan direvisi mengikuti negara – negara ASEAN lainnya menjadi lima tingkat. Hasil studi yang dilakukan oleh Indonesian Institute for Energy Economic, 2017 merekomendasikan bahwa pada penerapan SKEM haruslah lebih ketat, misal ketika pada tahun pertama, batas bawah adalah bintang 1, maka pada penerapan SKEM berikutnya, batas bawah menjadi bintang 2 dan seterusnya. Dengan begitu komposisi peralatan tersebut berdasarkan tingkat efisiensinya akan berubah dan intensitas energi rata-rata akan menurun.
Dampak penghematan energi dari penerapan SKEM dan Label dengan menggunakan data yang telah didapat melalui penerapan 2 (dua) kebijakan Peraturan Menteri ESDM tentang SKEM dan Label untuk Pengondisi Udara (AC) dan Lampu Swaballast sejak tahun 2015-2020 adalah sebesar 15.258 GWh atau setara dengan penghematan Rp. 22,4 Trilyun. Penghematan ini setara dengan kontribusi penurunan emisi GRK sebesar 12.969 juta Ton CO2e. (Faktor Emisi tahun 2017 = 0,85 kg CO2/kwh).
Sedangkan estimasi potensi penghematan energi dengan penambahan sepuluh (10) peralatan lain (Kulkas, TV, Kipas Angin, Mesin Cuci, Penanak Nasi, Pompa Air, Blender, Dispenser, Setrika dan peralatan lainnya) berdasarkan jumlah populasi dan konsumsi energinya dari hasil survei oleh market studi yang dilakukan oleh CLASP dan LBNL diproyeksikan pada tahun 2021 - 2025 didapat penghematan energi mencapai 23.3 TWh atau setara dengan Rp. 34,2 Trilyun dengan asumsi tarif listrik Rp. 1.467,28/Kwh.
Referensi
- Handbook of energy and economic statistics of Indonesia,2018.
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral., Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2009 tentang Konservasi energi , 2009
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2019. Bahan paparan Roadmap Konservasi Energi Penghematan Energi Final Sebesar 17 persen dari Business as Usual (BaU) di tahun 2025.
- Proyeksi penduduk Indonesia 2015 – 2045 (Hasil Supas 2015). Bappenas. 2018
- National Determined Contribution (NDC).2016
- Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL 2018-2027. PLN. 2019 https://www.pln.co.id/statics/uploads/2018/04/RUPTL-PLN-2018-2027.pdf