Potensi investasi efisiensi energi untuk pemulihan ekonomi paska pandemi
09 April 2021 - 13:57 | Humas EBTKE
Penulis: Robi Kurniawan
Dalam rangka pemulihan ekonomi karena pandemic Covid-19, selain kebijakan pemulihan berjangka pendek seperti penanganan kesehatan dan bantuan sosial, perlu ada langkah pemulihan berjangka panjang. Stimulus ekonomi jangka panjang ini diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan kapasitas untuk meningkatakan resiliensi terhadap potensi terjadinya krisis di masa yang akan datang. Upaya ini juga dapat diarahkan untuk mendukung upaya pembangunan berkelanjutan termasuk di dalamnya mitigasi perubahan iklim. Kebijakan jangka panjang yang berupa stimulus ekonomi dapat sekaligus sebagai korektif terhadap pendekatan pembangunan selama ini. Di sektor energi, pemulihan ini juga sedapat mungkin dapat mendukung ketercapaian Sustainable Development Goal di bidang energi dan mendorong ketercapaian target nasional seperti bauran energi nasional dan intensitas energi.
Sebagai salah referensi upaya pemulihan adalah economic recovery pasca krisis 2008-2009. Walaupun tidak ada krisis yang sama, akan tetapi ada lesson learned yang bisa diambil dari pemulihan pasca krisis tersebut. Menilik dari upaya pemulihan dari krisis ini, sektor energi, khususnya efisiensi energi, dapat berkonstribusi dalam upaya pemulihan ekonomi paska krisis.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sejumlah negara memberikan stimulus di sektor energi. Di lihat dari proporsinya, efisiensi energi merupakan salah satu upaya yang dominan. Dalam lingkup global, lebih dari 64 persen dari green stimulus pasca krisis 2008-2009 dialokasikan untuk upaya efisiensi energi (lihat tabel 1). Beberapa negara bahkan mengalokasikan seluruh green stimulus untuk efisiensi energi, seperti Jerman dan Italia. Investasi efisiensi energi juga mendominasi alokasi green stimulus, Inggris misalnya mengalokasikan 84 persen dan Prancis 83 persen.
Proporsi investasi efisiensi energi juga cukup signifikan dibandingkan dengan total GDP. China misalnya, dengan total green stimulus mencapai 3 persen dari GDP, 84 persen ditujukan untuk upaya efisiensi energi. Jepang mengalokasikan dua per tiga dari total green stimulusnya (1 persen) pada upaya efisiensi energi. Korea Selatan mengalokasikan seperempat dari total stimulusnya untuk sektor ini dari total green stimulus yang mencapai 5 persen dari GDP.
Investasi efisiensi di Jerman diberikan kepada beberapa sektor utama seperti bangunan gedung dan transportasi. Untuk bangunan gedung, sejumlah dana dialokasikan pemerintah Jerman untuk subsidi renovasi rumah, khususnya untuk meningkatkan efisiensi energinya. Di sektor transportasi, insentif diberikan kepada pemilik mobil dengan usia lebih dari 9 tahun. Pemerintah juga memberlakukan pajak yang didasarkan kepada emisi gas buangnya. Di sisi lain, stimulus juga dialokasikan untuk mendukung pengembangan sarana transportasi umum.
Investasi efisiensi energi pada sektor transportasi mendominasi stimulus pada bidang ini di China. Upaya ini meliputi pengembangan low-carbon vehicle dan pengembangan rel kereta api ramah lingkungan. Selain sektor tersebut, stimulus efisiensi energi juga dialokasikan pada sektor ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan antara lain pengembangan jaringan ketenagalistrikan yang lebih efisien untuk mengurangi transmission losses dan jaringan yang memungkinkan penetrasi energi terbarukan berjalan lebih optimal.
Tabel 1
Green stimulus dan investasi efisiensi energi untuk pemulihan krisis 2008-2009
Diadaptasi dari: Barbier (2020)
Korea mengalami dampak ekonomi yang parah pada saat krisisi 2008. Dimulai kuarter 4 tahun tersebut, krisis tersebut menyebabkan konstraksi negatif pertumbuhan ekonomi menjadi minus 3 persen di tahun berikutnya. Menghadapi krisis tersebut, pemerintah Korea menganggarkan stimulus yang cukup besar. Dari sisi jumlah, alokasi stimulus Korea ini menempati peringkat ketiga terbesar di dunia, setelah China dan USA. Dari stimulus ini, permerintah mentargetkan penciptaan lapangan kerja ke hampir satu juta penduduk Korea.
Dari sisi proporsi, lebih dari 80 persen dari total stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah Korea Selatan dapat dikelompokkan kepada kategori “green stimulus”. Besarnya prosentase ini menempatkan korea sebagai peringkat pertama dari sisi prosentasi “green stimulus” terhadap total stimulus yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka keluar dari krisis 2008. Sebagian besar investasi efisiensi energi di Korea Selatan dialokasikan untuk sektor bangunan. Upaya ini meliputi program efisiensi energi pada bangunan sekolah, pembangunan dua juta green home, dan instalasi lampu hemat energi pada tempat pelayanan umum. Selain sektor bangunan, konservasi energi pada sektor transportasi juga mendapatan proporsi yang signifikan. Upaya ini antara lain untuk mendukung transportasi hemat energi dan pembangunan jalur kereta untuk kereta hemat energi. Proporsi investasi efisiensi energi ini menghasilkan penciptaan lebih dari 300 ribu lapangan pekerjaan baru di negara tersebut.
Upaya pemulihan ekonomi melalui green stimulus, khususnya dengan efisiensi energi ini juga sejalan dengan penelitian yang ditujukan kepada pemangku kepentingan di negara G20 yang mencakup, kementerian keuangan, perbankan, akademisi, dan pakar ekonomi di negara-negara tersebut. Penelitian yang diterbitkan pada jurnal Oxford Review of Economic Policy tersebut mengupas opsi stimulus yang dapat diambil dalam rangka pemulihan dari krisis Covid-19. Dari kajian tersebut, ada beberapa program yang potensial mempunyai dampak jangka panjang serta mendukung mitigasi perubahan iklim. Upaya ini diantaranya adalah, investasi di clean infrastructure. Di sektor energi upaya ini dapat dilakukan antara lain dengan investasi pengembangan energi terbarukan, modernisasi jaringan ketenagalistrikan, penyimpanan hidrogen, serta teknologi energi bersih lainnya. Sektor energi lain yang potensial adalah retrofitting bangunan gedung. Langkah ini dapat meliputi perbaikan insulasi gedung, sistem pendinginan hemat energi, sirkulasi udara, penerangan, dan lain lain.
Program green stimulus, dan kajian tersebut menegaskan peran penting investasi efisiensi energi untuk pemulihan ekonomi paska krisis. Kita dapat melihat bahwa kebijakan pemulihan dapat memiliki dampak kepada ekonomi dan mitigasi perubahan iklim sekaligus. Disisi lain, kebijakan stimulus ini juga dapat menimbulkan manfaat yang lain diluar dua aspek tadi. Pelaksanaan retrofit bangunan gedung dalam rangka efisiensi energi misalnya. Selain penciptaan lapangan pekerjaan, program ini juga memiliki dampak lain, meliputi penurunan biaya tagihan listrik yang berpotensi mengurangi kesenjangan sosial. Di samping itu, sistem sirkulasi udara yang baik juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh penghuni yang berimplikasi meningkatkan taraf kesehatan.
Referensi:
Dalam rangka pemulihan ekonomi karena pandemic Covid-19, selain kebijakan pemulihan berjangka pendek seperti penanganan kesehatan dan bantuan sosial, perlu ada langkah pemulihan berjangka panjang. Stimulus ekonomi jangka panjang ini diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan kapasitas untuk meningkatakan resiliensi terhadap potensi terjadinya krisis di masa yang akan datang. Upaya ini juga dapat diarahkan untuk mendukung upaya pembangunan berkelanjutan termasuk di dalamnya mitigasi perubahan iklim. Kebijakan jangka panjang yang berupa stimulus ekonomi dapat sekaligus sebagai korektif terhadap pendekatan pembangunan selama ini. Di sektor energi, pemulihan ini juga sedapat mungkin dapat mendukung ketercapaian Sustainable Development Goal di bidang energi dan mendorong ketercapaian target nasional seperti bauran energi nasional dan intensitas energi.
Sebagai salah referensi upaya pemulihan adalah economic recovery pasca krisis 2008-2009. Walaupun tidak ada krisis yang sama, akan tetapi ada lesson learned yang bisa diambil dari pemulihan pasca krisis tersebut. Menilik dari upaya pemulihan dari krisis ini, sektor energi, khususnya efisiensi energi, dapat berkonstribusi dalam upaya pemulihan ekonomi paska krisis.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sejumlah negara memberikan stimulus di sektor energi. Di lihat dari proporsinya, efisiensi energi merupakan salah satu upaya yang dominan. Dalam lingkup global, lebih dari 64 persen dari green stimulus pasca krisis 2008-2009 dialokasikan untuk upaya efisiensi energi (lihat tabel 1). Beberapa negara bahkan mengalokasikan seluruh green stimulus untuk efisiensi energi, seperti Jerman dan Italia. Investasi efisiensi energi juga mendominasi alokasi green stimulus, Inggris misalnya mengalokasikan 84 persen dan Prancis 83 persen.
Proporsi investasi efisiensi energi juga cukup signifikan dibandingkan dengan total GDP. China misalnya, dengan total green stimulus mencapai 3 persen dari GDP, 84 persen ditujukan untuk upaya efisiensi energi. Jepang mengalokasikan dua per tiga dari total green stimulusnya (1 persen) pada upaya efisiensi energi. Korea Selatan mengalokasikan seperempat dari total stimulusnya untuk sektor ini dari total green stimulus yang mencapai 5 persen dari GDP.
Investasi efisiensi di Jerman diberikan kepada beberapa sektor utama seperti bangunan gedung dan transportasi. Untuk bangunan gedung, sejumlah dana dialokasikan pemerintah Jerman untuk subsidi renovasi rumah, khususnya untuk meningkatkan efisiensi energinya. Di sektor transportasi, insentif diberikan kepada pemilik mobil dengan usia lebih dari 9 tahun. Pemerintah juga memberlakukan pajak yang didasarkan kepada emisi gas buangnya. Di sisi lain, stimulus juga dialokasikan untuk mendukung pengembangan sarana transportasi umum.
Investasi efisiensi energi pada sektor transportasi mendominasi stimulus pada bidang ini di China. Upaya ini meliputi pengembangan low-carbon vehicle dan pengembangan rel kereta api ramah lingkungan. Selain sektor tersebut, stimulus efisiensi energi juga dialokasikan pada sektor ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan antara lain pengembangan jaringan ketenagalistrikan yang lebih efisien untuk mengurangi transmission losses dan jaringan yang memungkinkan penetrasi energi terbarukan berjalan lebih optimal.
Tabel 1
Green stimulus dan investasi efisiensi energi untuk pemulihan krisis 2008-2009
Country | Green stimulus (US$ bn) | Share (%) of green stimulus to | ||
Total | Porsi efisiensi energi |
Stimulus fiskal | GDP | |
China | 218.0 | 182.4 | 33.6 | 3.1 |
United States | 117.7 | 58.3 | 12.0 | 0.9 |
South Korea | 59.9 | 15.2 | 78.7 | 5.0 |
Germany | 13.8 | 13.8 | 13.2 | 0.5 |
United Kingdom | 5.8 | 4.9 | 16.3 | 0.3 |
Total G20 | 513.5 | 330.1 | 17.1 | 0.8 |
Korea mengalami dampak ekonomi yang parah pada saat krisisi 2008. Dimulai kuarter 4 tahun tersebut, krisis tersebut menyebabkan konstraksi negatif pertumbuhan ekonomi menjadi minus 3 persen di tahun berikutnya. Menghadapi krisis tersebut, pemerintah Korea menganggarkan stimulus yang cukup besar. Dari sisi jumlah, alokasi stimulus Korea ini menempati peringkat ketiga terbesar di dunia, setelah China dan USA. Dari stimulus ini, permerintah mentargetkan penciptaan lapangan kerja ke hampir satu juta penduduk Korea.
Dari sisi proporsi, lebih dari 80 persen dari total stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah Korea Selatan dapat dikelompokkan kepada kategori “green stimulus”. Besarnya prosentase ini menempatkan korea sebagai peringkat pertama dari sisi prosentasi “green stimulus” terhadap total stimulus yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka keluar dari krisis 2008. Sebagian besar investasi efisiensi energi di Korea Selatan dialokasikan untuk sektor bangunan. Upaya ini meliputi program efisiensi energi pada bangunan sekolah, pembangunan dua juta green home, dan instalasi lampu hemat energi pada tempat pelayanan umum. Selain sektor bangunan, konservasi energi pada sektor transportasi juga mendapatan proporsi yang signifikan. Upaya ini antara lain untuk mendukung transportasi hemat energi dan pembangunan jalur kereta untuk kereta hemat energi. Proporsi investasi efisiensi energi ini menghasilkan penciptaan lebih dari 300 ribu lapangan pekerjaan baru di negara tersebut.
Upaya pemulihan ekonomi melalui green stimulus, khususnya dengan efisiensi energi ini juga sejalan dengan penelitian yang ditujukan kepada pemangku kepentingan di negara G20 yang mencakup, kementerian keuangan, perbankan, akademisi, dan pakar ekonomi di negara-negara tersebut. Penelitian yang diterbitkan pada jurnal Oxford Review of Economic Policy tersebut mengupas opsi stimulus yang dapat diambil dalam rangka pemulihan dari krisis Covid-19. Dari kajian tersebut, ada beberapa program yang potensial mempunyai dampak jangka panjang serta mendukung mitigasi perubahan iklim. Upaya ini diantaranya adalah, investasi di clean infrastructure. Di sektor energi upaya ini dapat dilakukan antara lain dengan investasi pengembangan energi terbarukan, modernisasi jaringan ketenagalistrikan, penyimpanan hidrogen, serta teknologi energi bersih lainnya. Sektor energi lain yang potensial adalah retrofitting bangunan gedung. Langkah ini dapat meliputi perbaikan insulasi gedung, sistem pendinginan hemat energi, sirkulasi udara, penerangan, dan lain lain.
Program green stimulus, dan kajian tersebut menegaskan peran penting investasi efisiensi energi untuk pemulihan ekonomi paska krisis. Kita dapat melihat bahwa kebijakan pemulihan dapat memiliki dampak kepada ekonomi dan mitigasi perubahan iklim sekaligus. Disisi lain, kebijakan stimulus ini juga dapat menimbulkan manfaat yang lain diluar dua aspek tadi. Pelaksanaan retrofit bangunan gedung dalam rangka efisiensi energi misalnya. Selain penciptaan lapangan pekerjaan, program ini juga memiliki dampak lain, meliputi penurunan biaya tagihan listrik yang berpotensi mengurangi kesenjangan sosial. Di samping itu, sistem sirkulasi udara yang baik juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh penghuni yang berimplikasi meningkatkan taraf kesehatan.
Referensi:
- Hepburn, C., O’Callaghan, B., Stern, N., Stiglitz, J., & Zenghelis, D. (2020). Will COVID-19 fiscal recovery packages accelerate or retard progress on climate change?. Oxford Review of Economic Policy, 36.
- Barbier, E. B. (2020). Greening the Post-pandemic Recovery in the G20. Environmental and Resource Economics, 1-19.