EBTKE

Insentif Konservasi Energi

Apakah ada insentif fiskal yang disediakan oleh pemerintah kepada pihak-pihak yang melakukan konservasi energi?
Perlu diketahui sebelumnya bahwa setiap instrumen fiskal (baik pajak maupun bea masuk) yang berlaku di Indonesia selalu diatur melalui dasar hukum setingkat Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. 

Di dalam UU mengenai pemberlakuan instrumen fiskal tersebut, selalu memberikan ruang insentif (baik berupa pembebasan atau pengurangan) yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Dalam konteks investasi Konservasi Energi, ada 2 jenis pungutan yang akan sangat berpengaruh terhadap nilai investasi khususnya untuk pembelian peralatan dan mesin yang sebagian besar didatangkan dari luar negeri yaitu Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, akan kami bahas beberapa celah insentif fiskal yang bisa diakses untuk meringankan beban Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan upaya Konservasi Energi.

Bea Masuk
Peraturan tertinggi di bidang kepabeanan adalah UU 10/1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU 17/2006. UU ini mengatur dan memberlakukan bea masuk atas impor barang, sekaligus memberikan pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor tententu, sebagaimana bisa dilihat pada pasal 26 yang menyebutkan:
  1. Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor:
    1. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal;
    2. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;
    3. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu;
    4. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
    5. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan;
    6. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;
    7. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai;
    8. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
    9. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional;
    10. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri;
    11. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
  2. Dihapus.
  3. Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
Setelah diamanatkan dalam UU Kepabeanan, maka Kementerian Keuangan yang memegang kewenangan di bidang fiskal menyusun peraturan pelaksanaannya (PMK) untuk masing-masing jenis impor yang bisa mendapatkan pembebasan atau keringanan bea masuk.

Salah satunya, PMK Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal (peraturan tersebut telah direvisi 2 kali dengan PMK Nomor 76/PMK.011/2012 dan PMK Nomor 188/PMK.011/2015).

PMK tersebut disusun oleh Kementerian Keuangan untuk melaksanakan amanat dari UU Kepabeanan khusunya Pasal 26 ayat (1) huruf a, b, dan c, yang sekaligus di dalam ranah praktis bisa dimanfaatkan untuk mendukung investasi terkait Konservasi Energi.

Contoh:
PT. ABC ingin melakukan upaya konservasi energi di pabriknya, melalui penggantian boilernya yang lama (yang sudah tidak efisien) dengan boiler baru yang diimpor dari luar negeri. Dalam kasus ini, PT. ABC berpotensi mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk boiler baru yang dibelinya, dengan memanfaatkan celah insentif sebagaimana diatur dalam PMK 176/PMK.011/2009 (tentunya dengan melengkapi persyaratan dan melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan tersebut).

Sebagai tambahan, Kementerian Keuangan juga pernah menerbitkan PMK Nomor 18/PMK.010/2018 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership, dimana PMK ini menetapkan tarif bea masuk sebesar 0% atas impor dari negara-negara anggota ASEAN dan Jepang dalam rangka ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership untuk barang-barang yang tercantum dalam lampiran PMK tersebut (mesin-mesin industri termasuk juga di dalamnya). Apabila dikaitkan dengan ilustrasi di atas, jika PT. ABC mendatangkan boiler barunya dari Jepang atau dari negara-negara ASEAN, maka secara otomatis tarif bea masuknya menjadi 0% alias free sesuai dengan ketentuan PMK tersebut.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Peraturan tertinggi di bidang PPN adalah UU 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana telah diubah dengan UU 11/1994, UU 18/2000, dan UU 42/2009. UU ini mengatur dan memberlakukan PPN terhadap impor dan penyerahan atas barang kena pajak (BKP), sekaligus memberikan pembebasan PPN atas kegiatan atau barang tertentu, sebagaimana bisa dilihat pada pasal 16B yang menyebutkan:
  1. Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
    1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
    2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
    3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
    4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan 
    5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai turunan dari Undang-Undang tersebut, pemerintah menerbitkan PP Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam pasal 1 PP tersebut disebutkan bahwa:
  1. Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
    1. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, tidak termasuk suku cadang;
    2. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan, baik penangkapan maupun budidaya, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini;
    3. jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
    4. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
    5. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan;
    6. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
    7. pakan ikan;
    8. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk imbuhan pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian; dan
    9. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak batangan.
  2. Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
    1. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, tidak termasuk suku cadang;
    2. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan, baik penangkapan maupun budidaya, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini;
    3. jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
    4. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
    5. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan;
    6. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
    7. pakan ikan;
    8. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk imbuhan pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
    9. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak batangan; dan 
    10. unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
      1. luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m² (dua puluh satu meter persegi) dan tidak melebihi 36 m² (tiga puluh enam meter persegi);
      2. pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
      3. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang rumah susun; dan 
      4. batasan terkait harga jual unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik dan penghasilan bagi orang pribadi yang memperoleh unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
    11. listrik, kecuali untuk rumah dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) Voltase Amper.
Sebagai aturan pelaksanaan dari PP tersebut, Kementerian Keuangan kemudian menerbitkan PMK Nomor 268/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, untuk melaksanakan amanat dari PP 81/2015.

Dalam ranah praktis, sangat dimungkinkan untuk mengakses insentif pembebasan PPN untuk keperluan investasi konservasi energi dengan memanfaatkan PP dan PMK tersebut. 

Contoh:
PT. XYZ yang merupakan produsen semen besar di Indonesia ingin melakukan upaya konservasi energi di pabriknya, melalui penggantian mesin-mesin pabrik yang sudah tua dan tidak efisien dengan mesin-masin baru yang didatangkan dari luar negeri. 

Dalam kasus ini, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dari PP 81/2015, maka PT. XYZ berpotensi mendapatkan fasilitas pembebasan PPN untuk mesin-mesin baru yang dibelinya, karena mesin-mesin baru ini nantinya akan digunakan secara langsung untuk menghasilkan barang kena pajak yaitu semen.
 
  Bea Masuk Pajak Pertambahan Nilai
UU UU 10/1995 diubah dengan
UU 17/2006 tentang Kepabeanan
UU 8/1983 diubah dengan
UU 11/1994 diubah dengan
UU 18/2000 diubah dengan
UU 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
PP (langsung turun ke PMK) PP 81/2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN
PMK 176/PMK.011/2009 diubah dengan
76/PMK.011/2012 diubah dengan
188/PMK.011/2015 tentang
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal
268/PMK.03/2015 tentang 
Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis
PROGRAM KONSERVASI

EBTKE
Capaian Program Konservasi Energi
EBTKE
SKEM dan Labeling
EBTKE
Manajemen Energi
EBTKE
Investasi Konservasi Energi
EBTKE
Insentif Konservasi Energi

BANTUAN LEBIH LANJUT

Silahkan Menghubungi Kami Melalui Website Sinergi